News » INIKAH AKHIR CERITA SANG FILSUF BELANDA?

INIKAH AKHIR CERITA SANG FILSUF BELANDA?

24 Desember 2015 / Oleh : Aida Eka

Awal musim 2014-2015, ketika Louis van Gaal diperkenalkan kepada publik sebagai manajer baru Manchester United, saya menggantungkan harapan yang tidak muluk-muluk kepada meneer yang satu ini. Cukup bisa lolos ke zona liga Champion di tahun berikutnya (musim 2015/16), adalah ekspektasi yang paling realistis dari tim yang musim sebelumnya terdampar di peringkat ke-tujuh klasemen. Sebagai fans tim sekelas Manchester United, sebenarnya sungguh murahan sekali ekspektasi saya. Melihat harapan saya yang tidak berlebihan ini, mungkin Tuhan berwelas asih kepada saya. Harapan saya terkabul. Tahun ini Manchester United bisa berlaga di liga yang paling prestisius di seantero Eropa.

Namun sayangnya, perjalanan United harus terhenti di babak penyisihan group saja. Kecewa? Pasti. Tapi bukan karena tersingkirnya United di liga Champion. Ini adalah akumulasi kecewaan selama satu setengah tahun belakangan. Masih ingat jelas ketika LvG datang, semua mata tertuju kepada United. Hingar bingarnya sungguh terasa. Baru diumumkan sebagai manajer barunya saja, United sudah tampak menakutkan bagi tim-tim lawan. Sebegitu dahsyatnya pesona Louis van Gaal saat itu. Kini, setelah satu setengah musim menukangi United, terlihat benar tim ini memang cukup menakutkan, setidaknya bagi pendukungnya sendiri. Permainan Manchester United yang sekarang sungguh bisa menghipnotis semua orang (baca: bisa membuat orang tertidur melihatnya). Setan Merah di bawah asuhan Van Gaal bagaikan restaurant yang menyajikan makanan dengan penampilan ala fine dining restaurant, berbahan dasar bumbu dan daging premium,  namun tak ber-citra rasa. Orang tidak akan kembali kesana untuk kedua kalinya.

Setelah lebih dari 70 match dilakoni sejak sang koki diperkerjakan, dia masih ngeyel dan bersikeras bahwa 'hidangannya' enak. Si koki yakin sekali kalau 'rempah' andalannya yang bernama filosofi adalah bumbu rahasia yang membuat hidangannya lezat. Sampai saat ini pun saya tidak paham filosofi yang seperti apa yang Van Gaal usung di United. Apapun filosofinya, mungkin memang berjalan sesuai kenginannya, tapi tidak untuk achivement klub sendiri. Namun Van Gaal tidak bergeming. Idealisme itu perlu, penting malah. Tapi jangan membuat kita menjadi bebal dan keras kepala. Anda tak mungkin memakai rempah India untuk masakan Chinese kan?

Masih teringat jelas ketika banyak orang mengolok-olok Chelsea ketika main ultra defense. Membosankan katanya. Manchester United memang tidak bermain se-defense itu. Namun juga tak punya taring di lini depan. Kita hampir dibuat lupa bahwa klub ini punya strikers. United sangat unggul di ball possesion di tiap match-nya. Tapi saya rasa itu bukan prestasi yang bisa dibanggakan apabila kemenangan tidak didapatkan. United musim ini mungkin bahkan lebih membosankan dari Chelsea di era Mourinho ketika dia masih menjadi 'pengusaha persewaan bis'.

Daniel Taylor beberapa saat lalu memaparkan komentar Paul McCartney terhadap United. "Today’s United seldom excite and do little to entice supporters into going to watch them as they are no longer something special,” he said. “Supporters no longer enjoy watching them and teams no longer fear them.” 

Memprihatinkan memang, tapi McCartney benar. Bahkan tim sekelas Bournemouth dan Watford, yang mungkin namanya baru anda kenal satu musim terakhir, -pun bisa membuat United tampak seperti tim anak bawang. Pun di liga Champion, berada di klub yang relatif ringan bersama Wolfsburg, PSV Eindhoven dan CSKA Moscow, United tampil sangat kedodoran. Harus menunggu match terakhir untuk akhirnya harus tersingkirkan dari kompetisi.

The old Manchester United has gone.The passionate, attacking and entertaining United slowly disappear. Ketika United dulu kebobolan duluan, Sir Alex langsung akan berdiri ke pinggir lapangan dan berteriak2 ke pemainnya seperti orang kesetanan. Bagi sebagian orang mungkin dianggap berlebihan. Tapi itulah passion. Naluri alam bawah sadar para pemainnya akan termotivasi untuk membalikkan ketertinggalan. Attack, attack, attack. Pantang menyerah bahkan sampai menit terakhir sekalipun. Tidak hanya diam duduk di pinggir lapangan. Sesungguhnya saya tak ingin terus membawa nama Fergie sebagai pengingat romantisme sepakbola ala Manchester United. Lebih dari 20 tahun Fergie menangani Setan Merah. Dia sadar sepakbola terus berevolusi, dan dia mau terus belajar. Jadi, sudahkan Van Gaal belajar? Masih ada satu setengah tahun untuk sang meneer benahi semuanya. Itupun kalau kesempatan masih diberikan. (AE)